Mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan, Tak Cukup Dengan Peringatan dan Kampanye

6 Desember 2022, 10:45 WIB
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan/Pixabay/Alexas_Fotos /Pixabay/Alexas_Fotos/


OKETEBO.com - Pembunuhan terhadap perempuan atau femisida adalah bentuk kekerasan berbasis gender paling ekstrem terhadap perempuan belum direspons secara komprehensif oleh negara.

Akibatnya, hak perempuan korban atas keadilan dan kebenaran serta hak keluarga korban pemulihan tidak terpenuhi.

Kondisi ini merupakan simpulan dari pengembangan pengetahuan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Tentang femisida: bentuk, ranah, hubungan korban dengan pelaku, dampaknya terhadap keluarga yang ditinggalkan serta perundang-undangan dan kebijakan yang ada.

Baca Juga: Pagi Ini, 6 Desember 2022, Gunung Semeru Kembali Erupsi Selama 73 Detik

Baca Juga: 30 Orang Warga Binaan Lapas Jambi Dipindahkan ke Lapas Narkotika Muara Sabak

Untuk itu, Komnas Perempuan merekomendasikan upaya yang lebih sistematis dalam menyikapi femisida, diawali dengan data terpilah.

Rekomendasi ini disampaikan Komnas Perempuan dalam menyambut peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 25 November – 10 Desember.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyerukan agar setiap tanggal 25 November, negara pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) menyampaikan laporan terkait upaya-upaya pencegahan dan penanganan femisida.

Dalam kalender HAM internasional, tanggal 25 November tercatat sebagai awal dari 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP).

Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini diperingati sebagai bentuk penghormatan terhadap tiga perempuan, Mirabal bersaudara, pegiat HAM yang tewas dibunuh (femisida) karena perjuangan mereka menegakkan HAM di negara Dominika.

Baca Juga: Polda Jambi Berharap Lembaga Adat Bisa Menjadi Tumpuan Masyarakat Mencari Keadilan

Baca Juga: Jelang Natal danan Tahun Baru, Polisi di Jambi Incar Penjual Miras

Komnas Perempuan telah mengembangkan pengetahuan perempuan tentang femisida sejak tahun 2020. Data kasus femisida diperoleh dari pemberitaan media massa daring rentang tahun 2018 - 2020 tentang pembunuhan perempuan.

Hal ini dilakukan karena pengaduan kasus femisida ke lembaga layanan maupun ke Komnas Perempuan nyaris tidak ada. ( Komnas perempuan, Jakarta,22 November 2022)

Setiap bulan November, digelar peringatan Kampanye 16 hari Anti kekerasan terhadap perempuan (16 HKtP) 25 November- 10 Desember.

Kampanye di Indonesia sudah berlangsung sejak 2001 namun kekerasan terhadap perempuan tetap terus saja terjadi, Bahkan ketika UU TPKS ( Tindak Pidana Kekerasan Seksual) sudah disahkan.

Baca Juga: Anggota Geng Motor yang Membacok Anggota Pencak Silat Diringkus Polisi

Baca Juga: Besok, Seluruh Kabupaten Kota di Provinsi Jambi Berpotensi Dilanda Hujan Petir

Namun, faktanya tidak berpengaruh terhadap nasib perempuan di Indonesia yang mendapat kekerasan baik fisik maupun seksual.

Berdasarkan catatan tahunan periode 2022, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan (KBGTP) sepanjang 2021 sejumlah 338.496 kasus naik dari 226.062 kasus di tahun 2020 (Komnas Perempuan, 2022a, 2022b).

Hasil Survei Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene menyebutkan 93% penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasus mereka ke aparat penegak hukum (APH) dengan berbagai ragam alasan seperti malu, takut disalahkan, tidak cukup bukti, tidak didukung keluarga, dan intimidasi pelaku (Asmarani, 2016).

Realita tidak melapornya para korban kepada APH merupakan bukti kuatnya isu patriarki yang ada di masyarakat. Isu patriarki mengemuka karena para korban yang mayoritas adalah kaum perempuan diminta untuk diam oleh sistem atau mekanisme yang ada di masyarakat.

Baca Juga: Update Prakiraan Cuaca Besok Selasa, 6 Desember 2022 di Kota Jambi

Baca Juga: Pj Bupati Aspan dan Ketua TP PKK Armayanti Aspan, Serahkan Hadiah Sepeda Kepada Pemenang Doorprize

Mirisnya nasib perempuan di Indonesia berdasarkan catatan tahun periode 2022, peraturan yang ditetapkan pemerintah dalam UU TPKS dan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tidak berpengaruh dan berefek terhadap masyarakat, malahan kekerasan terhadap Perempuan dan pelecehan terhadap Perempuan masih terus terjadi.

Penyebab nya karena Individu tidak bertakwa kepada Allah SWT yang tidak tau akan aturan Allah dalam kehidupan keluarga, pergaulan dan berumah tangga.

Pada pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan, pelaku tidak mengatur naluri baqo' atau naluri mempertahankan diri, emosional nya sesuai dengan aturan Islam yaitu mengontrolnya dengan kesabaran.

Begitu juga pada pelaku tindak pelecehan seksual terhadap Perempuan juga tidak mengatur atau mengontrol naluri nau' atau naluri melestarikan keturunan atau seksualnya sesuai dengan aturan Islam yaitu di penuhi dengan pernikahan jika sudah siap untuk nikah, tidak dengan melakukan pacaran, pemerkosaan dan pelecehan seksual.

Jika belum mampu untuk menikah maka berpuasalah menahan rasa hasrat seksual tersebut. Inilah aturan dari Allah sebagaimana terdapat dalam Alquran dan hadist.

Baca Juga: Pj Bupati Tebo Aspan, ST, Lepas Peserta Gowes dan Jalan Santai

Baca Juga: Gempa Bumi Hari Ini 3.6 SR di Kepulauan Aru Maluku

Sistem Demokrasi, Kapitalisme yang diterapkan di Indonesia menjadi penyebab terjadinya pelecehan dan kekerasan terhadap Perempuan karena berasaskan Sekularisme yaitu memisahkan agama dalam kehidupan dan memisahkan agama dari Negara.

Individu tidak bertaqwa kepada Allah, kurangnya dakwah ditengah masyarakat dan pendidikan hari ini tidak menghasilkan generasi berkepribadian Islam atau memiliki pola pikir dan pola sikap Islam karena kurikulum pendidikan tidak berdasarkan tsaqofah Islam.

Aturan buatan manusia yang dipakai dalam sistem demokrasi ini bukan aturan buatan Allah dalam menjalankan kehidupan akibatnya banyak persalahan yang terjadi ketika Aturan dan hukum Allah tidak dilaksanakan dalam kehidupan.

Islam melindungi Perempuan dari Kekerasan dan pelecehan seksual

Perempuan di dalam Islam harus dimuliakan dan dijaga martabat dan kehormatannya. Islam mengharamkan segala bentuk kekerasan dan penindasan termasuk kejahatan seksual. Allah SWT berfirman,

“… Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi.” (QS. An-Nur: 33).

Baca Juga: Besok Minggu, 4 Desember 2022, Jambi Diprediksikan Turun Hujan Pada Siang dan Sore Hari

Kapabilitas sistem Islam dalam melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan dapat dilihat dari rekam sejarah peradaban Islam.

Pada tahun 837 M, Al-Mu’tashim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi.

Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah, “di mana kau Mutashim… tolonglah aku!” Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki).

Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan.

Konsep-konsep terkait perlindungan dan jaminan terhadap perempuan dalam hak-hak dasar sebagai manusia dapat ditemukan dalam banyak literatur-literatur Islam. Islam melindungi perempuan dari pelecehan, melalui pelaksanaan aturan-aturan dan kebijakan seperti[1],[2]:

1. Penerapan aturan-aturan Islam yang dikhususkan untuk menjaga kehormatan dan martabat perempuan.

Misalnya, kewajiban menutup aurat (QS. An-Nur: 31), berjilbab ketika memasuki kehidupan publik (QS. Al-Ahzab: 59), larangan berhias berlebihan atau tabbaruj (QS. Al-A’raaf: 31 dan QS. Al-Ahzab: 33). Adanya pendampingan mahrom (kakek, ayah, saudara laki-laki dan adik ayah) atau suami ketika perempuan melakukan perjalanan lebih dari 24 jam. Dari Abu Hurairoh RA, bahwa Nabi SAW bersabda;

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bersafar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR.Muslim no.1339).

2. Penerapan aturan-aturan Islam terkait pergaulan laki-laki dan perempuan.

Misalnya, perintah menundukkan pandangan bagi laki-laki (QS. An-Nur: 30) dan perempuan (QS. An-Nur: 31), larangan berduaan dan campur baur antar laki-laki dan perempuan tanpa hajat syar’i. Rasulullah SAW bersabda,

“Seorang laki-laki tidak boleh berduaan (kholwat) dengan seorang perempuan kecuali wanita tersebut bersama mahramnya.” (HR.Muslim)

3. Penerapan sanksi yang berat bagi pelaku pelecehan.

Misalnya, pelaku pemerkosaan akan dihukum had zina (QS. Al-Maidah: 33). Jika pelakunya belum pernah menikah maka dicambuk 100x, jika sudah pernah menikah dirajam hingga mati.

4. Orang yang berusaha melakukan zina dengan perempuan namun tidak sampai melakukannya, maka dia akan diberi sanksi tiga tahun penjara, ditambah hukuman cambuk dan pengasingan. Hukuman yang diberikan akan dimaksimalkan jika korbannya adalah orang yang berada di bawah kekuasaannya seperti pembantu perempuannya atau pegawainya.

Selain itu, Islam juga melindungi perempuan dari kekerasan, melalui pelaksanaan aturan-aturan dan kebijakan seperti[3],[4]:

Perintah mempergauli istri secara ma’ruf dan larangan berbuat aniaya terhadap istri (QS. Al-Baqarah: 228-229 dan QS. An-Nisa: 19).
Penerapan sanksi bagi pelaku kekerasan, di antaranya pelaku akan dihukum qishas jika terjadi pembunuhan atau dihukum ta’zir maupun membayar denda (diyat) jika terjadi penganiayaan fisik.

Selain melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan, Islam menjamin kesejahteraan perempuan, melalui pelaksanaan aturan-aturan dan kebijakan seperti[5],[6],[7]:

Kewajiban nafkah keluarga diberikan kepada pihak ayah, suami dan wali perempuan (kakek dari ayah, adik ayah, saudara laki-laki kandung dan keponakan laki-laki ayah). Negara akan menjamin dan membuka peluang besar bagi tersedianya lapangan pekerjaan dan memberikan modal usaha bagi pihak laki-laki agar dapat menunaikan kewajibannya.

Perempuan tidak diwajibkan bekerja. Perempuan boleh bekerja dengan izin suami/ayahnya dengan menjalankan syariat Islam ketika di kehidupan publik. Pekerjaan yang akan dijalankan perempuan bukanlah pekerjaan yang akan mengeksploitasi diri dan waktu perempuan sehingga peran domestik perempuan dapat dijalankan secara optimal.

Penerapan hukuman sanksi (ta’zir) bagi suami yang tidak menjalankan kewajiban penafkahan padahal ia memiliki kemampuan.

Negara akan mengambil alih peran keluarga dalam hal nafkah bila semua pihak yang bertanggung jawab dalam nafkah tidak mampu menjalankan perannya. Sehingga perempuan bukan tulang punggung keluarga apalagi ujung tombak perekonomian negara.

Politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya tiga kebutuhan primer individu baik laki-laki maupun perempuan seperti pangan, papan, dan sandang. Jaminan terpenuhinya tiga kebutuhan primer masyarakat secara kolektif seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang akan disediakan secara langsung oleh negara secara cuma-cuma atau dengan biaya yang sangat minim.

Masya Allah, betapa sempurna Islam sebagai suatu sistem kehidupan. Tentunya jika Islam benar-benar diterapkan dalam kehidupan, perempuan akan terjaga dan terjamin keselamatannya. Insya Allah.

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Siti Rusfriani Verina, S.Pd

Editor: Herman

Tags

Terkini

Terpopuler