Liberalisasi dibalik Piala Dunia 2022

- 8 Desember 2022, 21:29 WIB
Ilustrasi/Pixabay/Pixel-Sepp
Ilustrasi/Pixabay/Pixel-Sepp /Pixabay/Pixel-Sepp/

Tapi justru karena negara kecil itu memang jelas tidak layak menjadi tuan rumah, maka kemenangan Qatar menjadi penanda sebuah era baru tentang betapa korupnya badan sepak bola dunia FIFA.

Baca Juga: Turap Amblas, Masjid Tertua di Tebo Jambi Terancam Ambruk ke Sungai Batanghari

Para pejabat FIFA yang terlibat dalam pengambilan keputusan itu di kemudian hari didakwa, dikenakan sanksi oleh badan sepak bola karena melanggar aturan atau dituduh korupsi.Tapi korupsi sejatinya adalah soal sistem, bukan hanya individu yang bermental korup saja.

Semua kembali pada masa ketika Juni 2009. Qatar, sebuah negara kecil di tengah gurun, memutuskan untuk mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia.

Tapi mereka harus meyakinkan mayoritas pejabat di dewan FIFA, yang saat itu beranggotakan laki-laki dan perempuan dari enam badan sepak bola di masing-masing benua.

Baca Juga: Usai Kota Sukabumi, Sekarang Kabupaten Pacitan Jawa Timur Diguncang Gempa Magnitudo 4.7

Seharusnya ada 24 anggota dewan, tapi dua di antaranya dikeluarkan setelah ada laporan dari koran London, Sunday Times, tentang mereka yang berencana menjual suaranya. 2 Desember 2010. Semua mata tertuju ke ruang auditorium Zurich.

Pemungutan suara digelar dan sesaat kemudian Sepp Blater, presiden FIFA kala itu, membuka amplop berisi nama negara. Qatar menang jadi tuan rumah.

Qatar punya semua alasan untuk tidak layak menjadi tuan rumah. Negara itu bukan saja tidak punya stadion bola, tapi infrastruktur pendukung seperti kereta, hotel, stasiun transit dan sebagainya juga tidak ada.

Baca Juga: Cek Penerima Dana Bantuan Dari PIP Kemdikbud 2022

Halaman:

Editor: Herman


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x